Tentang Sebuah Pertemuan
Hujan rintik mengiringi perjalananku malam itu. Selepas solat isya aku bergegas pergi ketempat yang sudah kita janjikan. Dan aku hampir lupa, tak ada sepeserpun uang didompetku jadi aku berhenti di mesin atm untuk mengambil uang.
Tak lama kemudian aku sampai di tujuan. Lamat-lamat kulihat dirimu dari kejauhan. Dengan balutan kaos putih lengan panjang dan celana jeans hitam, kau duduk di kursi tenda payung hijau di taman kafe itu. Menungguku dengan sabar. Kamu memilih duduk di dekat gerbang masuk, mungkin agar aku mudah menemukanmu. Kemudian aku mendekat. Kuulaskan senyum kecil dan menyapamu. Dan kamu pun tersenyum, sebuah senyum yang tidak pernah kusangka bisa melihatnya.
Malam itu adalah kali pertamaku mengunjungi tempat itu. Dan aku seakan tersihir dengan romantisme yang sengaja diciptakan untuk menjamu para tamu. Sembari duduk, ku sapu pandangan melihat sekeliling. Lampu-lampu kuning kecil menghiasi langit-langit taman nampak hangat nan cantik, dan beberapa tenda payung sudah terisi orang- orang yang ingin menikmati suasana malam. Ditambah lagi iringan musik romantis, menambah kesyahduan tempat ini. Kulihat bagian dalam kafe dari balik kaca transparan, beberapa meja lingkar dengan empat kursi pun hampir penuh terisi.
Kemudian aku berceletuk, bagaimana tempat ini bagus untuk latar sebuah novel romansa dimana pemeran utama melamar kekasihnya dengan membawakan sebuah lagu, dihadapan semua pengunjung yang ada. Sungguh romantis. Lalu kamu menimpali, kamu bilang akan menjadi pengiring gitarnya. Bagaimana bila kamu saja, kamu memainkan lagu kesukaanku dengan petikan gitarmu yang lihai. Seketika aku merasa geli dengan imajinasiku sendiri. Imajinasi ngawur dalam otakku yang tidak kamu tahu tentunya.
Kamu pun memberikan buku menu. Membuyarkan reka adegan imajinasiku. Jemariku meraihnya, adalah secangkir kopi yang aku inginkan. Kemudian kuputuskan untuk memesan "hot coffe latte" sementara kamu memilih "hot chocolate" untuk menemani malam kita. Lalu, perbincangan kita pun dimulai. Sengaja kucuplik kata-kata sapaan yang kau tulis dalam blog-mu.
"Halo om, apa kabar? Gebetan aman?" kataku sembari menatapmu, disambut tawa kecilmu yang entah apa artinya itu. Untuk sesaat aku benar-benar penasaran sebanyak apa gebetanmu hingga kamu harus mengamankannya, hahaha. Aku yakin cukup banyak. Oiya, karena sebelumnya kita belum cukup akrab, aku masih kikuk untuk memanggil namamu, jadi kuputuskan saja memanggilmu dengan sebutan "om". Tapi kamu masih memanggilku "bu" mungkin karena kebiasaan ya om. Kamu bisa memanggilku dengan nama, toh nyatanya aku memang lebih muda, kekekek.
Kembali pada cerita kita malam itu, aku ingat kamu menanyakan akun instagramku, tak lama kamudian kita sudah saling mengikuti. Aku juga membawakan sebuah buku karena sebelumnya kau katakan ingin meminjam bukuku. Apapun itu, kamu bilang, jadi kubawakan buku "Chairul Tanjung Si Anak Singkong". Sejurus kamu juga mengeluarkan sebuah buku. Meminjamkannya untukku. Apakah ini sebuah cara agar bisa bertemu lagi? tanyaku dalam hati. Namun ku tepiskan, tak mungkin, tak mungkin. Kamu pasti ingin menambah wawasan atau mengisi waktu luang karena baru saja kamu lulus sarjana.
Hingga akhirnya kita bercerita tentang sebuah rahasia, hantu masa lalu yang masih membayangiku sampai sekarang. Awalnya aku ragu apakah aku bisa menceritakannya padamu, apakah kamu cukup bisa dipercaya. Lalu bagaimana nanti pandanganmu tentang aku setelah kamu tahu rahasiaku, masihkah kamu mau berteman denganku, tidakkah kamu menganggapku aneh atau bahkan sakit jiwa? Namun aku rasa kamu baik dan cukup pintar menyimpan rahasia. Jadi kuputuskan untuk membuka kotak usang dalam bilik memoriku, rahasia dan semua kenangan pahit yang kucoba simpan dalam-dalam. Cerita menyedihkan yang mungkin tidak akan kau percaya.
Satu demi satu kenangan tumpah ruah hingga tanpa sadar aku menjadi begitu cengeng. Kamu memberikan secarik tisu, mendengarkan dengan seksama dan mempersilahkanku menumpahkan segala emosi yang terpendam. Rasanya agak memalukan, tak biasanya aku terlihat lemah. Apalagi didepanmu. Tapi aku benar-benar merasa lega. Rasanya seperti bebas menghirup udara setelah sekian lama aku sesak napas. Terimakasih karena telah memberiku ruang untuk bercerita.
Detik demi detik berlalu. Agaknya kita begitu terhanyut dengan cerita-cerita usang yang ku sampaikan. Tanpa sadar, meja kita dan segala yang ada di atasnya sudah basah terkena gerimis yang cukup deras, begitupun dengan bajuku dan bajumu, kurasa. Dan tidak ada lagi orang-orang yang tadinya duduk di tenda taman, hanya tersisa kita berdua. Seorang pramuniaga kemudian menghampiri dan menawarkan sebuah payung untuk kita berpindah ke dalam kafe. Kamu pun meraih payung hijau itu, dan kita berjalan berdampingan menerjang hujan. Seperti adegan klise dalam drama-drama romantis, hahaha.
Di dalam kafe, dengan penerangan yang lebih cerah dibandingkan di taman, rasanya wajahku agak sembab. Entah bagaimana wajahku saat itu. Kamu bilang tembongku masih terlihat, malunya diriku. Kupikir tembong yang kamu maksud adalah sembab tapi ternyata tahi lalat kecil dibawah alisku. Setelah itu, sesi perbincangan tentang rahasia, kita ganti dengan bahasan ringan tentang tempat kita mengajar. Gelak tawaku pun tak terhitung karena guyonanmu.
Suasana terasa semakin hangat, hingga kita sadari jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 malam. Hujan diluar telah mereda. Kafe akan segera tutup. Para pengunjung pun mulai meninggalkan mejanya. Begitupun kita, rasanya baru tadi kita berjumpa. Sungguh waktu terlewat dengan cepat. Malam yang menyenangkan, akankah ada malam seperti itu lagi. Dengan secangkir kopi dan ceritamu yang membuat waktu rasanya seperti berlari begitu saja. Bolehkah, aku menantikannya. Atau kamu pasti sibuk mengamankan gebetanmu ya. Tapi aku berterimakasih atas pertemuan kita malam itu, dan maafkan jika aku terlalu receh. Senang bisa mengenalmu.
Kita pasti akan bertemu, jika memang ditakdirkan untuk itu. Sampai jumpa.
Terimakasih telah membaca.
5.12.2018
Hingga akhirnya kita bercerita tentang sebuah rahasia, hantu masa lalu yang masih membayangiku sampai sekarang. Awalnya aku ragu apakah aku bisa menceritakannya padamu, apakah kamu cukup bisa dipercaya. Lalu bagaimana nanti pandanganmu tentang aku setelah kamu tahu rahasiaku, masihkah kamu mau berteman denganku, tidakkah kamu menganggapku aneh atau bahkan sakit jiwa? Namun aku rasa kamu baik dan cukup pintar menyimpan rahasia. Jadi kuputuskan untuk membuka kotak usang dalam bilik memoriku, rahasia dan semua kenangan pahit yang kucoba simpan dalam-dalam. Cerita menyedihkan yang mungkin tidak akan kau percaya.
Satu demi satu kenangan tumpah ruah hingga tanpa sadar aku menjadi begitu cengeng. Kamu memberikan secarik tisu, mendengarkan dengan seksama dan mempersilahkanku menumpahkan segala emosi yang terpendam. Rasanya agak memalukan, tak biasanya aku terlihat lemah. Apalagi didepanmu. Tapi aku benar-benar merasa lega. Rasanya seperti bebas menghirup udara setelah sekian lama aku sesak napas. Terimakasih karena telah memberiku ruang untuk bercerita.
Detik demi detik berlalu. Agaknya kita begitu terhanyut dengan cerita-cerita usang yang ku sampaikan. Tanpa sadar, meja kita dan segala yang ada di atasnya sudah basah terkena gerimis yang cukup deras, begitupun dengan bajuku dan bajumu, kurasa. Dan tidak ada lagi orang-orang yang tadinya duduk di tenda taman, hanya tersisa kita berdua. Seorang pramuniaga kemudian menghampiri dan menawarkan sebuah payung untuk kita berpindah ke dalam kafe. Kamu pun meraih payung hijau itu, dan kita berjalan berdampingan menerjang hujan. Seperti adegan klise dalam drama-drama romantis, hahaha.
Di dalam kafe, dengan penerangan yang lebih cerah dibandingkan di taman, rasanya wajahku agak sembab. Entah bagaimana wajahku saat itu. Kamu bilang tembongku masih terlihat, malunya diriku. Kupikir tembong yang kamu maksud adalah sembab tapi ternyata tahi lalat kecil dibawah alisku. Setelah itu, sesi perbincangan tentang rahasia, kita ganti dengan bahasan ringan tentang tempat kita mengajar. Gelak tawaku pun tak terhitung karena guyonanmu.
Suasana terasa semakin hangat, hingga kita sadari jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 malam. Hujan diluar telah mereda. Kafe akan segera tutup. Para pengunjung pun mulai meninggalkan mejanya. Begitupun kita, rasanya baru tadi kita berjumpa. Sungguh waktu terlewat dengan cepat. Malam yang menyenangkan, akankah ada malam seperti itu lagi. Dengan secangkir kopi dan ceritamu yang membuat waktu rasanya seperti berlari begitu saja. Bolehkah, aku menantikannya. Atau kamu pasti sibuk mengamankan gebetanmu ya. Tapi aku berterimakasih atas pertemuan kita malam itu, dan maafkan jika aku terlalu receh. Senang bisa mengenalmu.
Kita pasti akan bertemu, jika memang ditakdirkan untuk itu. Sampai jumpa.
Terimakasih telah membaca.
5.12.2018
Komentar
Posting Komentar